Minggu, 18 Oktober 2015

Ujung Batee Puteh, The Hidden Beauty (Part 2)





Before deciding to go there, please read these tips below. It helps your trip safely and hopefully you will get the unforgetable moment with amazing view there.

Rabu, 14 Oktober 2015

Ujung Batee Puteh, The Hidden Beauty (Part 1)




Before visiting Ujung Batee Puteh, know 2 others spot which near Ujung Batee Puteh. Those are Blang Ulam village and Ujung Teungku (Teungku Cape). They have something to do with how to get there or how the way to look over the deserted beach from the other side. 

to be continued

Jumat, 06 Februari 2015

Dari Lampulo Ke Pulo Breuh (Catatan Perjalanan Hari I)

Rabu yang terik. Kondisi Banda Aceh saat itu belum terlalu siang tapi cuaca sudah mulai menyengat kulit. Sekumpulan awan bertebaran dan menghiasi langit diatas kota Banda Aceh namun bayang-bayang awan yang jatuh ke permukaan tanah tak juga membuat suasana lebih teduh. Beberapa menit menjelang pukul setengah sebelas, aku meninggalkan rumah dalam kondisi gerah sambil membawa sebuah dry bag dan ransel. Lalu menaiki becak menuju Lampulo. Sedikit terlambat dibanding Khairil dan Bahrul, 2 teman perjalanan yang sudah tiba di Lampulo sejak pukul 10 pagi.  Nasib baik, begitu tiba di Lampulo, angin kencang yang berhembus dari laut sedikit menetralisir rasa gerah yang melanda tubuh. Angin kencang yang datang bersamaan dengan aroma ikan segar.

Lampulo adalah sebuah perkampungan nelayan di muara Krueng Aceh (Sungai Aceh). Kawasan ini boleh jadi lebih tua usianya dari kota Banda Aceh. Disini warna warni kapal nelayan berjajar di kiri dan kanan sungai. Mulai dari jembatan Peunayong hingga ke muara Krueng Aceh dan Lampulo berada tak jauh dari muara tersebut. Datanglah pada jumat pagi saat nelayan tak melaut maka kemeriahan warna warni kapal kayu akan lebih sempurna berpadu dengan aroma anyir ikan segar, bau laut yang datang bersama hembusan angin, aktifitas nelayan diatas kapal-kapal kayu, lalu lalang para pembeli ikan yang datang dari kota, kesibukan para pedagang (mugee) yang menawarkan ikan pada sebuah keranjang rotan besar, semuanya menyatu pada sebuah kawasan nelayan yang bernama Lampulo.
Bukan tanpa alasan aku berada di Lampulo hari itu.  Ya, siang nanti kami -aku, Khairil, Bahrul dan Reza- akan menyeberang ke Pulo Breuh (Pulau Breuh) dari Lampulo. Pulo Breuh merupakan pulau terbesar di gugusan Pulo Aceh dan masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Perjalanan ini sudah lama direncanakan namun selalu tertunda karena kesibukan masing-masing. Halangan rupanya belum berakhir, pada hari keberangkatan Reza mendadak tak dapat ikut namun ia akan menyusul di hari berikutnya, kamis siang. Oohhh #t-shirt_tragedy hahahaaaaaa :)
Karena ini  kali pertama kami akan mengunjungi Pulo Breuh yang berada di wilayah administratif kecamatan Pulo Aceh, kami sepakat berkumpul di Lampulo pukul 11 meski jadwal keberangkatan kapal jam 2 siang. Waktu panjang yang tersisa kami isi dengan mencari infomasi sebanyak mungkin tentang lokasi tujuan. Info bisa didapat dari siapa saja, dari nakhoda, pawang laut, pemilik kapal penyeberangan, pekerja yang mengangkut barang ke kapal, penumpang yang baru tiba atau yang akan berangkat bahkan pedagang makanan disekitar dermaga pun kami mintai informasi. 

Sebelumnya sudah banyak info yang ddapat dari teman-teman yang pernah mengunjungi pulau yang memiliki teluk-teluk indah. Meski kami fikir terlalu banyak info bisa bikin bingung tapi harus diimbangi juga dengan info-info secara langsung. Biasanya informasi yang bersumber langsung dari orang-orang yang sering bepergian ke Pulo Breuh lebih akurat daripada searching di google. Heheheeee  

Setelah informasi yang didapat dirasa cukup, kami duduk dan menunggu diatas dermaga kayu sederhana berukuran 7 kali 3 meter. Letak dermaga di bibir Krueng Aceh hanya dipisahkan oleh tembok tebal setinggi 1 meter dengan jalan raya. Di dermaga ini juga sedang bersandar 2 kapal kayu, KM Sulthan Bahari dan KM Jasa Bunda. Kedua kapal ini menempuh rute Pulo Breuh namun kapal pertama merapat di dermaga Lampuyang sedangkan satu lagi mendarat di dermaga desa Gugop. Kami memilih opsi pertama, selain berangkat lebih awal, jarak tempuh menuju Lampuyang sedikit lebih cepat dari pada tujuan Gugop.

Kesibukan di dermaga menjadi tontonan pada siang yang terik, kesibukan para pekerja yang mengangkut sepeda motor dan barang-barang kebutuhan untuk dibawa ke Pulo Breuh.

Pukul 2 lebih 10 menit, KM Sulthan Bahari bergerak meningalkan dermaga kayu ditepi Krueng Aceh.  Meninggalkan semua kesibukan di kawasan nelayan terbesar di Banda Aceh.  Kapal bergerak diiringi gerimis yang datang tiba-tiba. Cuaca memang sulit ditebak siang itu. Begitupun laut. Ombak tenang yang kami rasakan diawal penyeberangan jauh berbeda ketika kapal berada di tengah laut antara Ulee Lheue dan Pulau Weh. Dan ombak semakin bergelora ketika kapal melintas dilepas pantai antara Ujung Pancu dan Pulau Nasi.  Seorang perempuan belia yang duduk disebelah kanan ku tak bersuara. Ia tampak takut dan memeluk tiang kapal erat-erat.  Sedangkan aku? Hmmmmm takut juga sih.

Setelah menempuh perjalanan laut selama 1 jam 40 menit (10 menit lebih lama dari perkiraan karena ombak dan angin kencang), akhirnya Sulthan Bahari merapat di dermaga desa Lampuyang. Ada pemandangan unik ketika kapal mendekati Lampuyang, kami disambut oleh dua buah tanjung di kiri kanan. 


Kedua tanjung tersebut saling berhadapan, mereka dipisahkan oleh permukaan air selebar 55 meter, seperti selat kecil tempat kapal keluar-masuk. Bentang alam itu membentuk  "gerbang alami" bagi kapal yang akan merapat di Lampuyang atau keluar menuju laut. That’s really a perfect natural gate. Puncak kedua tanjung tersebut dipenuhi jajaran pohon kelapa. Siluetnya tampak cantik kala matahari terbit. (Bersambung)



Minggu, 25 Januari 2015

12 Fakta Menarik Willem's Toren




Tepat diatas pintu masuk, pada sebuah pualam putih persegi yang mulai tampak kusam, tertera tulisan dalam bahasa Belanda. Jika diterjemahkan bermakna "Menara Willem. 1875. Dibangun pada masa perang namun dimaksudkan untuk perdamaian. Juga sebagai penghormatan bagi para ksatria yang gagah perkasa,  demi perdamaian telah menyerahkan darah dan jiwa mereka untuk mencapai tujuan damai ini." 



Sebelum melanjutkan fakta menarik lainnya, coba simak foto dibawah ini. Bayangkan anda sedang berdiri tak jauh dari mercusuar Willem's Toren. Minimal pembaca mengetahui bentuk menara dan jumlah lantai agar fakta-fakta -secara arsitektural- berikut ini dapat dipahami dengan baik.




Saat memasuki lantai pertama mercusuar, satu-satunya ornamen fungsional  yang menyambut kami adalah tangga penghubung ke lantai berikutnya. Tangga yang sebagian besar terbuat dari plat baja -termasuk railing tangga- ini didesain melengkung mengikuti bentuk denah bangunan yang bulat. Mesti sangat hati-hati ketika pertama kali menginjakkan kaki dari satu pijakan ke pijakan tangga yang lain. Langkah akan semakin lebar ketika bertemu dengan beberapa anak tangga yang hilang. Ya, sejumlah anak tangga tidak lagi berada pada posisinya. Ada yang harus ditopang olah kayu, ada juga yang tetap menggantung setelah diikat dengan sejenis kabel agar ia dapat bertahan dan memberi tempat bagi tapak kaki para pengunjung. 






Angin berhembus sangat kencang saat kami menginjakkan kaki di lantai 8. Berada di ketinggian dimana angin mampu mengguncang-guncangkan tubuh, membuat kami harus melangkah perlahan-lahan untuk mengelilingi observation deck. saya lebih memilih merapatkan tubuh ke dinding dibandingkan ke arah railing/pagar pengamannya. Bagi yang takut ketinggian, tidak dianjurkan berada pada lantai ini.
Dari sisi keamanan, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan -misalnya terjatuh dari ketinggian- maka pengunjung hanya dibatasi oleh railing besi atau pagar pengaman yang kokoh berwarna orange setinggi 120 cm. Lebih tinggi sedikit dari pinggang orang dewasa. Pagar pengaman ini melingkar mengelilingi lantai observation deck.
Selain menikmati pemandangan laut, bukit dan hutan dari ketinggian, faktor lain yang membuat setiap orang "wajib" naik ke lantai tertinggi ini tentu saja karena faktor koneksi kuat dari salah satu operator selular. Di lantai inilah kami dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Hal pertama yang dilakukan begitu tiba diatas tentu saja update status, upload foto dan selfie. Cheeerrrssssss. 

Siapapun yang melakukan perjalanan ke kawasan bersejarah ini, maka kunjungan akan selalu berakhir di puncak tertinggi Willem's Toren. Dari atas bangunan tua yang menjulang di ujung bukit yang mengarah ke Lautan Hindia inilah, kami menjadi saksi Keagungan Illahi, Allah Maha Pencipta. Lagi dan lagi, menatap keindahan Indonesia dari atas. Inilah nikmat sebuah perjalanan. [a]

Selasa, 09 September 2014

Tanjung Ujung Kelindu, Cerita Dari Ujung Dunia

Membaringkan tubuh diatas hamparan rumput tak jauh dari ujung tebing adalah sesuatu yang mustahil dapat dilakukan di kota besar. Dibawah sana, suara ombak yang berakhir  pada dinding tebing memecah sunyi malam. Pada saat yang bersamaan jauh diatas sana, cahaya jutaan bintang bertebaran di langit malam. Sementara itu, menjelang pagi adalah waktu yang tepat menanti dan menatap matahari yang muncul dari ufuk timur. Pada sebuah teluk kecil tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda, kami puaskan untuk berenang pada beningnya air diantara debur ombak yang bersahabat. Lalu yang tak kalah menarik, berdiri di ujung tebing karang terjal yang menjorok ke laut dengan hamparan gradasi air berwarna hijau muda, tosca, biru dan biru pekat dan moment ini membuat kami serasa sedang berada di ujung dunia.  Semua itu kami lakukan saat berada di pesisir timur kabupaten Aceh Besar, pada sebuah kawasan bernama Tanjung Ujung Kelindu.

Perjalanan mencari Tanjung Ujung Kelindu awalnya adalah perjalanan penuh keragu-raguan. Ragu-ragu –kalau tak mau disebut takut- ketika beberapa orang mengingatkan bahwa di lokasi tersebut banyak ular berkeliaran. Masih terbersit ragu ketika diantara kami tak ada seorangpun yang tahu persis letak lokasi yang akan dikunjungi. Pun tak  ada yang tahu pintu masuk menuju Tanjung Ujung Kelindu. Semua masih samar-samar.  Walaupun begitu, kami tetap saja nekad dan memutuskan untuk menemukan lokasi tersebut meski hanya berbekal informasi verbal dari beberapa teman yang sudah pernah camping disini. Yaa……meski indah ternyata tidak banyak yang tahu lokasi tanjung ini.


Hari Sabtu, pukul 4 sore, sesuai kesepakatan, kami berkumpul di Harvies Coffee di kawasan Lamprit. Ada 9 orang yang berangkat. Setelah menempuh perjalanan sejauh 33 km meninggalkan kota Banda Aceh dan melewati pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, dengan kondisi jalan yang mulus. Akhirnya kami menemukan sebuah pintu pagar kebun penduduk disebelah kiri jalan. Meski masih belum yakin,  namun kelihatannya jalur ini memang mengarah ke lokasi yang kami tuju. Exito.....setelah menempuh jalur tanah berkelok-kelok naik turun bukit melewati padang rumput, kami berjaya menemukan tanjung dengan teluk kecil yang indah. Sama Beruntungnya dengan mereka yang pernah singgah dan menghabiskan malam disini.

Lembah-lembah kecil dan Lekukan bukit-bukit karang serta hamparan padang savanna yang luas adalah pemandangan pertama sekaligus menakjubkan menyambut kedatangan kami. Savana menjadi rumah bagi sejumlah hewan ternak sekaligus lahan bagi lembu dan kambing merumput disini. Pada hamparan savana pula, pohon-pohon tumbuh tidak saling berdekatan antara satu dengan lainnya. Juga Jalan-jalan setapak yang membentuk garis memanjang dan berkelok-kelok pada punggung bukit.

Keberuntungan yang lain adalah Tuhan menganugerahi perjalanan ini dengan cuaca cerah dan itu artinya sepeda motor yang dikendarai dapat mencapai hingga lokasi tempat kami akan bermalam yaitu sebuah bukit yang ditutupi rumput kering dengan dinding karang yang terjal, dimana bagian bawah  bukit bersisian langsung dengan laut. Tempat dimana  ombak  berakhir menghempas kaki bukit karang. Jika tak ingat maghrib segera menjelang, ingin rasanya berlama-lama di tanjung ini. Mengagumi keindahannya dikala senja. 

Sebelum gelap, kami memutuskan untuk mendirikan tenda. Saat itu pula seorang penduduk kampung dengan sepeda motor tuanya mendatangi kami. Aku menghampiri laki-laki yang kutaksir  berusia 50-an tahun. Setelah memperkenalkan diri akhirnya kuketahui namanya Pak Azhar. Ia juga memberitahu bahwa dia lah pemilik lahan tempat dimana kami akan bermalam. Pertanyaan pertama yang meluncur dari mulutnya “Padum droe awak droeun, na mee inong?" Berapa orang kalian dan tidak ada yang membawa perempuan kan? Aku meyakinkan pak Azhar bahwa kami bermalam disini hanya 9 orang dan tak ada perempuan yang ikut bersama kami. Sebagai "tamu" di sebuah daerah, tentu saja  anda harus menghormati "local wisdom" kalau tak mau diusir. Jika ingin bebas, pergilah ke tempat dimana anda bisa melakukan apa pun tanpa ada larangan. Bukan begitu?

Sebagai satu-satunya propinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum syariah, Aceh menerapkan aturan melarang para perempuan berdua-duaan atau berkumpul hingga larut malam dengan laki-laki yang bukan mahram. Termasuk kegiatan camping/bermalam di lokasi wisata. Tapi jangan kecewa dulu, jika kaum hawa Aceh ingin menikmati Tanjung Ujung Kelindu dari pagi hingga menjelang petang, silakan saja. Itu dibolehkan kok, sejauh tidak melanggar kearifan lokal yang diterapkan. 

Nah, berada tepat di Tanjung Ujung Kelindu, pesona pertama yang dapat dilihat adalah sebuah teluk kecil. Ada jalan setapak yang menuruni bukit untuk mencapai teluk indah ini. Siapapun akan tergoda untuk berenang disini. Lihat link berikut; http://www.youtube.com/watch?v=iAEVxdtLqU0 


Di kejauhan, kami juga dapat memandang pantai pasir putih Lhok Mee, tepat disebelah kanan. Lhok Mee adalah pantai yang populer, dimana pohon-pohon besar tampak tumbuh berjajar di air. Sebuah fenomena alam yang terjadi akibat garis pantai semakin menjorok ke daratan. Sehingga pohon-pohon yang dulu jauh dari tepi pantai kini tampak seperti tumbuh dari dalam air. Semakin jauh di sisi kanan mengarah ke tenggara, tampak puncak Gunung Seulawah muncul dari balik bukit-bukit savana. Masya Allah, takjub.

Lalu pesona apa yang dapat kita saksikan disisi kiri? Selain Tanjung Ujung Kelindu yang menjadi “ujung dunia”, nun jauh sisi kiri lokasi ini juga menawarkan pesona laut dengan kemunculan pulau kecil Amat Ramayang. Kisah Amat Ramayang adalah folklore Aceh tentang akhir hidup seorang anak lelaki yang mengabaikan ibu kandungnya, hingga akhirnya kapal mereka dikutuk menjadi Batu. Lebih jauh lagi, tampak Pulau Weh berdiri kokoh muncul dari kedalaman laut. Disekitar kawasan ini, jika teliti siapapun akan menemukan satu bunker Jepang peninggalan Perang Dunia II. Yang kini terlihat hanya lubang pengintai yang mengarah ke laut dan lubang udara yang berada diatas. Sedangkan jalur masuk bunker sudah tertutup olah ranting-ranting pohon. Bunker itu seperti berkamuflase dengan kontur bukit.

Hanya satu malam kami berada disini dan itu rasanya belumlah cukup. Menjelang siang sebelum balik ke Banda Aceh,  ada “ritual” terakhir yang kembali kami lakukan seperti pada hari pertama kami tiba. Berdiri pada ujung curam bukit karang. Menjejakkan kaki diantara bukit-bukit karang terjal yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan moment ini benar-benar membuat kami serasa berada di ujung dunia. Dimana hamparan laut biru seperti tak berbatas terbentang didepan mata. 

Ya…..menyusuri pantai timur kabupaten Aceh Besar  menyadarkan kami betapa garis pantai disini menyimpan pesona yang tak kalah menarik dengan pesisir barat Aceh. [ay]

Foto-foto berbeda Tanjung Ujung Kelindu, dapat dilihat disini

Rabu, 20 Agustus 2014

Lhok Keutapang


Hujan yang mengguyur kota Banda Aceh sejak 3 malam berturut-turut, sejujurnya membuat nyali sedikit menciut untuk menerima ajakan Rial Hayat dan Muhib Didi melakukan trekking sekaligus camping yang direncanakan pada 16 Agustus 2014 ke Lhok Keutapang, salah satu dari empat pantai tersembunyi (secret beaches) yang terletak di pesisir barat Aceh Besar. 

Namun menolak ajakan mereka bukan sebuah keputusan yang tepat, apalagi mengingat bahwa ada satu rangkaian perjalanan yang harus dilengkapi.  Jika menerima ajakan tersebut artinya aku akan melengkapi kunjungan ke 4 lokasi pantai-pantai tersembunyi (sebelumnya telah mengunjungi pantai Lhok Mata Ie, Langee dan Momong) yang terkenal keindahannya. Sayang sekali jika tawaran mereka dilewatkan begitu saja. Yaahhh, pada akhirnya pembaca pasti tahu bahwa aku tak kuasa menolak ajakan itu. Kami pun akhirnya "klik, ketemuan, deal" *meminjam tagline situs belanja online. Hahahaaaa. Saat keputusan untuk bergabung itu diambil, aku hanya berharap hujan tidak turun saat pendakian berlangsung.

Sabtu, 16 Agustus 2014, menjelang pukul 15.30 rombongan kami memutuskan untuk memulai pendakian dari kawasan Ujung Pancu, sebuah perkampungan yang masuk dalam wilayah kecamatan Peukan Bada. Alhamdulillah cuaca saat itu berpihak kepada kami. Siang itu langit tampak cerah meski tadi pagi hujan sempat turun walau sesaat. Ada 9 orang tergabung dalam pendakian kali ini. Namun sayang, satu orang harus mengundurkan diri meski sudah sempat melewati beberapa ratus meter jalur pendakian. 

Nah inilah mungkin beberapa alasan kenapa dalam rombongan ada yang harus "menyerah", dibandingkan 3 pantai tersembunyi lainnya yang terletak di sepanjang pesisir barat Aceh Besar yang sudah pernah dijalani yaitu pantai Lhok Mata Ie, Langee dan Momong, akses menuju pantai Lhok Keutapang masuk dalam kategori yang paling berat. Ia juga memiliki jalur pendakian yang lebih panjang dan itu artinya trekker harus menghabiskan waktu tempuh lebih lama. Beberapa bagian merupakan tanjakan batu yang curam. Melewati tanjakan dengan kemiringan mendekati 55 derajat bukanlah hal yang mudah dijalani apalagi selepas hujan. Jalur tanah yang licin bisa berakibat fatal bagi para pendaki jika tak siap secara fisikSelain itu, disekitar kawasan pantai tidak terdapat sumber air tawar. Berbeda dengan pantai Lhok Mata Ie yang memiliki sumber air tawar yang dapat ditempuh sekitar 15 menit berjalan kaki. Memang benar, sebelum mencapai Lhok Keutapang, pendaki akan menemukan aliran air (alur) namun letaknya sangat jauh. Jika tak ingin kehausan selama menginap di alam terbuka di sekitar pantai Lhok Keutapang, bawalah persediaan air yang cukup. Disisi lain, membawa kebutuhan air ekstra selama perjalanan juga menjadi beban tersendiri bagi yang tidak fit. Namun itu juga sebuah keharusan.


Meski medan yang ditempuh sangat menguras tenaga, akhirnya kami pun tiba dengan selamat sebelum matahari tenggelam. Sungguh, 3 jam yang sangat melelahkan. Langit senja itu tampak mulai pekat.  Momen sunset yang diharapkan tak mungkin terpenuhi karena langit tertutup oleh awan kumulus. Namun ada pemandangan lain yang tak kalah indah. Sebelum mencapai garis pantai, padang ilalang terhampar di hadapan. Angin yang bertiup serentak meliuk-liukkan ilalang. Ke kiri dan kanan, mengikuti irama angin. Pun merasakan sensasi alam dikala ujung-ujung ilalang menyentuh kulit saat melintas jalur pejalan kaki yang membelah padang ilalang.


Diujung hamparan hijau ilalang, 2 pokok kayu berdiri laksana gerbang menyambut siapapun yang datang ke pantai ini. Disini, berdiri diantara dua pokok kayu dengan cabang yang tumbuh sejak dari bagian bawah pohon, pengunjung dapat melihat langsung Pulau Bunta secara utuh di depan mata. Begitupun Pulo Batee terlihat jelas disisi kanan.


Pemandangan yang berbeda akan terlihat disaat pagi menjelang siang hari, keindahan padang ilalang akan lebih dramatis. Warna hijau kekuningan tertimpa cahaya mentari pada hamparan ilalang yang luas serta warna biru kehijauan air laut ditambah sekumpulan awan putih di langit biru yang pekat adalah perpaduan warna warni alam yang sungguh indah. Kami menikmati suasana tersebut saat melakukan perjalanan kembali ke Banda Aceh. Pemandangan yang menyegarkan mata, menghilangkan penat dan tentu saja semakin menambah kekaguman akan ciptaan Illahi. 


Pada akhirnya, lengkap sudah penjelajahan pada 4 pantai tersembunyi yang tersebar di pesisir barat kabupaten Aceh Besar. Pantai Lhok Keutapang menjadi penutup rangkaian tersebut. Sekaligus membuktikan ucapan beberapa orang yang sebelumnya pernah menjelajah lokasi ini bahwa selain memiliki garis pantai pasir putih paling panjang, pantai Lhok Keutapang itu sungguh cantik.